Indonesia – Meski ada kasus perselingkuhan dan gugatan cerai rumah tangga Virgoun, kakak Inara Rusli rupanya membiarkan adik iparnya berpoligami. Hal ini disampaikan langsung oleh Ustad Derry Sulaiman pada saat Dr. Richard Lee, MAR.
Ustad Derry Sulaiman menuturkan, Virgoun pernah bercerita bahwa kakak Inara Rusli mengajaknya berpoligami. Kakak Inara, Rusli, meminta Virgoun melakukan hal tersebut untuk menjauhkannya dari maksiat.
“Bahkan menurut Virgoun, dia diarahkan ke kakaknya (Inara Rusli). Daripada maksiat, nikah lagi. Kata kakak Ina, di hukum agama itu benar,” kata Ustaz Derry Sulaiman suatu ketika.

Namun, Inara Rusli sendiri mengaku tak setuju menjalin hubungan asmara dengan selingkuhan Virgoun itu. Di sisi lain, Virgoun juga masih ingin berpoligami dengan dugaan selingkuhannya, Tenri Anisa.
Namun, bagaimana pandangan Islam yang sebenarnya, apakah boleh menikah dengan orang yang telah berselingkuh?
Kutipan NU Daring, upaya untuk menghancurkan rumah tangga pada dasarnya ilegal, termasuk kehadiran orang ketiga. Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Dan barangsiapa merusak hubungan antara istri dan suaminya, maka dia bukan dari golongan kami.” (HR an-Nasai).
Menurut mazhab Maliki, apabila suami istri bercerai dan salah satunya menikah dengan wanita simpanannya, maka pernikahan tersebut tidak sah. Itu karena pernikahan dapat menyebabkan kerusakan.
“Syekh Ali al-Ajhuri ra berkata—bacaannya—bahwa al-Abiyyu menjelaskan masalah orang yang merusak hubungan antara istri dan suaminya, bahwa perkawinan keduanya (laki-laki yang merusak dan perempuan yang merusak) harus dibatalkan bahkan setelah akad nikah. Pandangan ini sebenarnya dikutip dari Ibnu Arafah yang menyatakan, bahwa barangsiapa yang berusaha memisahkan seorang wanita dari suaminya agar dapat dinikahinya, maka mustahil baginya (tidak diperbolehkan, pent) untuk menikahinya. Dan jelas bahwa jika seorang pria menikahinya maka pernikahannya harus dibatalkan baik sebelum atau sesudah akad karena menyebabkan kerusakan (akad, laten)” (Muhammad bin Ahmad bin Muhammad ‘Alisy, Fath al-‘Ali al- Malik fi al-Fatwa’ala Madzhab al-Imam Malik, Bairut-Dar al-Ma’rifah, tt, vol, 1, hal 397).
Namun, dalam pandangan lain, seseorang yang menikahi wanita simpanannya tidak selamanya tidak sah. Hanya saja, mereka berdua harus menunggu masa iddah dari sang istri selesai.
“Barangsiapa memutuskan hubungan antara istri dan suaminya, kemudian suami menceraikannya, kemudian laki-laki yang merusak itu menikahinya setelah berakhirnya iddah, maka larangan wanita terhadap laki-laki yang merusaknya tidak selamanya. Dan itu tidak bertentangan dengan pendapat yang menyatakan batalnya perkawinan sebelum atau sesudah akad.” -Kharsyi, Syarh al-Kharsyi’ ala Mukhtashar Khalil, Bulaq-al-Mathba’ah al-Amiriyah, 1317 H, vol.3, hlm.170-171).
Sedangkan menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i, tidak haram menikahi wanita simpanan. Namun, orang yang menghancurkan rumah tangga itu jahat. Ini adalah dosa yang dibenci oleh Allah SWT.
“Ulama madzhab Hanafi dan Syafi’i berpendapat bahwa memutuskan hubungan istri dengan suaminya tidak melarang laki-laki yang merusaknya untuk menikahinya, tetapi menikahinya adalah halal bagi laki-laki yang merusaknya. Dia. Tetapi orang yang membinasakan ini adalah orang yang paling jahat, perbuatannya termasuk dosa yang paling keji, dan dosa yang paling besar di sisi Allah SWT pada hari kiamat.”