INDONESIA – Seorang warga Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Ngatipah, menggugat adik iparnya atas jual beli tanah warisan mendiang suaminya, Supari. Hal itu dilakukan setelah beberapa kerabatnya melaporkan dirinya karena diduga membuat surat palsu untuk penjualan tanah seluas 4.800 meter persegi.
Ngatipah cs melalui kuasa hukumnya, Yayan Riyanto, saat ini sedang melakukan gugatan terhadap pelapor yakni Sutris Cs ke Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen Kabupaten Malang.
Kasus bermula dari terdakwa Sutris cs yang melaporkan Ngatipah dan anaknya ke Polres Malang. Laporan tersebut kemudian dikeluarkan melalui surat perintah penyidikan Nomor: Sp Lidik/1163/VII/022/Reskrim pada 29 Juli 2022 nanti.
“Kami selaku advokat Ngatipah Cs kemudian melayangkan surat permohonan penundaan penyidikan atas laporan polisi bernomor: LP/B/14/1/2023/SPKT/Polis Malang/Polis Wilayah Timur pada Senin 06 Januari 2023, perihal penjualan dan pembelian tanah,” kata Yayan Riyanto.
Saat ini, Yayan mengaku kliennya menunda pemeriksaan. Dalam hal ini karena menganggap perjanjian jual beli nomor: 01 tanggal 7 Februari 2022 itu sah.
“Gugatan kami ajukan karena pihak tergugat menyatakan bahwa perjanjian jual beli objek tanah Nomor: 01 tanggal 7 Februari 2022 itu palsu,” kata Yayan.
Yayan menjelaskan, kesepakatan jual beli tanah itu terjadi karena pada 6 April 2002, almarhum Supari (suami Ngatipah) telah berjual beli tanah.
4.800 meter persegi senilai Rp 20 juta, terletak di Desa Kedungrejo, Kecamatan Pakis dari Sarinten (ibu kandungnya) yang dikenal oleh Kepala Desa (Kades) saat itu, Suradi Arif, bersama perangkat desa dan diketahui dan disetujui oleh kerabatnya. Supari yakni Sutris CS dengan alasan untuk menutupi hutang orang tuanya.
“Sejak itu, Supari memanfaatkan lahan untuk menanam sayuran. Tapi, seiring berjalannya waktu, Supari meninggal (2021), dan setelah itu muncul masalah ini, ketika ahli waris Supari ingin menjual tanah kepada PT Bintang Indonesia Mashyur senilai Rp 1,4 miliar yang akan digunakan untuk Perumahan Tanah Lavanaa,” jelas Yayan. .
Yayan mengatakan, saudara Supari Sutris dan Rumana cs melaporkan ahli waris Supari dalam kasus ini Ngatipah cs ke polisi. Sutris dan Rumana cs mengatakan Yayan menilai surat yang dibuat dalam perjanjian jual beli tanah itu palsu.
“Jadi Sutris dan Rumana cs tidak mengakui transaksi dan tanda tangan mereka pada nota jual beli yang dibuat saat itu, mereka (Sutris dan Rumana cs) menyatakan bahwa tanah tersebut masih milik orang tuanya,” jelas Yayan.
Sedangkan menurut Yayan, berdasarkan ketentuan Pasal 78 KUHP disebutkan bahwa kewenangan untuk mengadili suatu tindak pidana dapat dihentikan karena telah berakhir. Dan Yayan menjelaskan seharusnya Polres Malang menolak laporan tersebut.
“Tanah yang menjadi sengketa ini sudah berumur lebih dari 12 tahun dan telah habis masa berlakunya, selain itu sampai saat ini belum ada putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa perjanjian jual beli milik Ngatipah cs palsu, sehingga jual beli perjanjian jual beli harus dinyatakan asli dan sah,” kata Yayan.
Karenanya, Ngatipah cs saat ini sedang mendaftarkan gugatan hukum terhadap Sutris dan Rumana cs di Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen pada 27 Januari 2023.
“Kami mengajukan gugatan agar PN menyatakan bahwa perbuatan tergugat yang tidak mengaku setuju dan menandatangani surat pernyataan dan jual beli tanah tanggal 6 April 2002 antara almarhum Sarinten dengan almarhum Supari adalah perbuatan melawan hukum,” kata Yayan.
Selain itu, dia juga meminta Pengadilan Negeri Malang untuk mengukuhkan perjanjian jual beli antara almarhum Sarinten dan almarhum Supari atas tanah objek berdasarkan kavling D No. Paket 1273 no. 10, tidak. SPPT 1660, dengan luas 4.800 meter persegi,” tambah Yayan.
Sementara itu, kuasa hukum Sutris dan Rumana cs, Didik Lestariono, mengakui akad jual beli yang dilakukan kepala desa secara resmi cacat. “Dan kepala desa menyatakan bahwa tanda tangannya dipalsukan. Pernyataan ini juga terekam kamera CCTV di kamar Ananta Yudha Polres Malang,” kata Didik melalui pesan singkat WhatsApp kepada awak media.