INDONESIA – Namanya dikenal sebagai bupati perempuan pertama di Jawa. Retno Dumilah juga dikenal sebagai panglima tempur wanita yang sulit dikalahkan. Sayangnya, kewibawaannya sebagai Bupati Purabaya dikalahkan atas nama cinta di hadapan Panembahan Senopati.
Ya, suksesnya invasi Kesultanan Mataram menaklukan Kadipaten Purabaya menciptakan sejarah baru bagi Kadipaten Purabaya. Nama Purabaya kemudian berubah menjadi Bediun. Nama Bediun kemudian berubah menjadi Madiun. Madiun selalu menjadi daerah yang berpengaruh penting di Jawa dengan bupati pertamanya, Pangeran Timur.
Pada artikel kali ini, INDONESIA akan mengajak pembaca untuk melihat kembali sejarah Madiun. Ulasan kami kali ini akan fokus membahas perkembangan dan profil Retno Dumilah, bupati pertama di Jawa. Catatan sejarah menyebutkan bahwa Retno Dumilah merupakan Bupati kedua Madiun. Dia mewarisi tahta dari ayahnya, Pangeran Timur.
Dari silsilah, Pangeran Timur adalah anak dari Sultan Trenggono, ipar Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir atau Mas Karebet. Putera Timur diadopsi oleh Raden Ayu Retno Lembah. Raden Ayu Lembah adalah putri Kadipaten Ngurawan yang menikah dengan Surya Pati Unus, pangeran Sultan Demak Raden Fatah.
Sebelum membahas tentang Retno Dumilah, kita akan membahas tentang Pangeran Timur terlebih dahulu. Pada tanggal 18 Juli 1568, Pangeran Timur diangkat menjadi Bupati Purabaya (nama baru Kadipaten Ngurawan) oleh Sunan Bonang yang mewakili para wali. Pangeran Timur jumeneng bergelar Panembahan Ronggo Jumeno, memerintah Kabupaten Madiun selama 18 tahun, dari tahun 1568 sampai 1586. Saat itu kekuasaan Demak diambil alih oleh Kerajaan Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir.
Pengangkatan Panembahan Ronggo Jumeno sebagai pemimpin sekaligus mengakhiri kekuasaan Kesultanan Demak di bawah Kyai Rekso Gati. Panembahan Ronggo Jumeno dikenal sebagai pemimpin yang adil, bijaksana dan dicintai masyarakat Madiun hingga saat ini. Beberapa wilayah hukum Panembahan Ronggo Jumeno antara lain Surabaya, Pasuruan, Ngawi, Tuban, Nganjuk, Brebek, dan Ponorogo.
Peralihan kekuasaan Jawa dari Pajang ke Mataram menjadi era baru bagi Kadipaten Purabaya. Mataram berhasil menguasai Kerajaan Pasai hingga posisi kadipaten harus takluk di bawah kekuasaannya. Namun Panembahan Ronggo Jumeno menolak tunduk kepada Mataram yang saat itu dipimpin oleh Panembahan Senopati.
Penolakan tersebut menyebabkan Mataram menyerang Purabaya. Tercatat Mataram melakukan dua kali penyerangan pada tahun 1568 dan 1587. Namun kedua serangan tersebut berhasil dipatahkan karena Purabaya mendapat bantuan dari 15 bupati asing. Saat itu, Purabaya merupakan kadipaten yang membawahi 15 kecamatan.
Setelah mengalami dua kekalahan, Mataram menyusun strategi baru menyerang Purabaya dengan berpura-pura menyerah. Mengetahui hal tersebut, pasukan sekutu dari Timur mundur dan kembali ke wilayahnya masing-masing.
Ketika Kadipaten Purabaya tidak dalam keadaan siaga, pasukan Mataram kembali menyerang pada tahun 1590 M. Saat itu pusat pemerintahan telah berpindah ke Wonosari dan kekuasaan Kadipaten Purabaya diserahkan kepada putra Panembahan Ronggo Jumeno yaitu Raden Ayu Retno Dumilah. .
Pada tahun 1590, dengan berpura-pura takluk, Mataram menyerang pusat keraton Kabupaten Purbaya yang hanya dipertahankan oleh Raden Ayu Retno Djumilah dengan sejumlah kecil pengawalnya. Pertarungan terjadi antara Panembahan Senopati dan Raden Ayu Retno Dumilah. Perang terjadi di sekitar sumber mata air di dekat keraton Kabupaten Wonorejo (Madiun). Retno Dumilah bukanlah perempuan biasa. Ia adalah seorang senopath perang yang hebat dengan senjata utamanya yaitu keris Kiai Gumarang.
Perang tak berkesudahan antara Mataram dan Purabaya membuat rakyat menderita. Retno Dumilah juga prihatin. Banyak prajurit tewas. Juga banyak janda dingin di malam hari.
Pertarungan satu lawan satu melawan Panembahan Senopati menjadi pilihan terakhir bagi Retno Dumilah. Perang ini merupakan tawaran dari Penambahan Senopati. Kesepakatannya, siapa pun yang kalah harus menerima kekalahan dan tunduk kepada pemenang.
Pertempuran untuk kekuasaan dan kaliber dimulai. Retno Dumilah membawa keris pusakanya, Kiai Gumarang perdananya. Retno Dumilah, keponakan Ratu Kalinyamat, sulit dikalahkan oleh Panembahan Senopati. Panembahan Senopati, dengan bisikan nasihat ahli strategi Ki Juru Martani (Perdana Menteri Kesultanan Mataram pertama) punya pemikiran lain.
Dengan taktik dan strategi Ki Juru Martani, Panembahan Senopati berhasil mengalahkan Retno Dumilah secara halus tanpa terluka. Retno Dumilah dicintai, dirayu. Retno Dumilah berteriak dan setuju berdamai dengan Mataram. Dia memilih untuk menyerah pada rakyat dan pasukannya habis dan rakyat menderita.
Setelah kekalahan tersebut, Retno Dumilah kemudian dibawa ke keraton Mataram di Kotagede sebagai simbol rampasan perang. Bayangan ini juga menandai berakhirnya Kadipaten Purabaya. Untuk memperingati kekuasaan Mataram atas Purabaya, pada hari Jumat Legi, 16 November 1590 M, nama Purabaya diubah menjadi Madiun.
Di Mataram, Retno Dumilah mendapat kedudukan tinggi sebagai permaisuri Ratu Kulon. Namun sayang, sebagai permaisuri Ratu Kulon tidak serta merta menjadikan keturunan Retno Dumilah mampu menjadi penerus tahta penguasa Mataram. Pangeran Retno Dumilah, Pangeran Pringgalaya gagal naik tahta menjadi raja.
Sebelum meninggal, Panembahan Senopati memutuskan mengangkat Raden Mas (RM) Jolang sebagai pewaris tahta Kesultanan Mataram. Alasan klasik, Senopati mengaku mendapatkannya inspirasi. Jolang nantinya akan menjadi seorang raja yang akan membawa kejayaan bagi Mataram. Selain itu, ibu Jolang, Ratu Wetan, Raden Ayu (RAy) Waskitajawi atau Ratu Mas merupakan keturunan Ki Penjawi dari Pati. Trah Penjawi dianggap lebih unggul dari trah Madiun, asal Retno Dumilah. Jolang kemudian naik tahta sebagai raja kedua Kesultanan Mataram bergelar Panembahan Hanyakrawati.
Dalam budaya keraton Mataram, menurut adat dan protokoler, Ratu Kulon adalah istri utama. Posisinya mengalahkan Ratu Timur. Begitu juga pangeran Ratu Kulon. Lebih disukai dari anak-anak Ratu Wetan. Itu teori yang bekerja di atas kertas. Namun, kenyataannya adalah sebaliknya.
Di Mataram, mantan bupati Madiun Retno Dumilah ditempatkan di daerah Pleret Bantul hingga meninggal dunia. Setelah wafat, jenazahnya dimakamkan di Makam Raja-Raja Mataram di Kotagede, Daerah Istimewa Yogyakarta.